Arya Perdhana - detiksport
Getty/Mirco Lazzari GP
I Love My Life and then Love Your Life..
Dalam beberapa tahun terakhir udara Kota Bandung terasa panas menyengat sehingga menimbulkan rasa hareudang dan bayeungyang yang tidak nyaman bagi segenap warga. Berdasarkan catatan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Bandung, pada akhir Oktober tahun lalu suhu udara rata-rata Bandung mencapai 33 derajat celsius. Padahal, lima tahun terakhir suhu udara rata-rata maksimum hanya 28,3-29,9 derajat celsius. Adapun menurut Djamaludin, dewasa ini suhu di Kota Bandung meningkat 0,3 derajat celsius setiap tahun. Faktor penyebab udara Kota Bandung panas tersebut, antara lain, adalah kian meningkatnya emisi gas rumah kaca karbon dioksida (CO2) dari kendaraan bermotor dan industri. Namun, kemampuan tumbuhan untuk menyerap CO2 dan mengubahnya menjadi stok karbon (C) kian terbatas mengingat ruang terbuka hijau (RTH) yang rimbun tumbuhan, khususnya tumbuhan berkayu, kini banyak dialihfungsikan menjadi "pepohonan beton" untuk kepentingan bisnis.
Ruang Terbuka Hijau yang selanjutnya disingkat RTH adalah ruang-ruang dalam kota dalam bentuk area/kawasan maupun memanjang/jalur yang didominasi oleh tumbuhan yang dibina untuk fungsi perlindungan habitat tertentu, dan/atau sarana kota, dan/atau pengaman jaringan prasarana, dan/atau budidaya pertanian. Sebenarnya, kebijakan RTH kota bandung ini merupakan wacana lama yang pada implementasinya selalu menimbulkan kontroversi. Bagaimana tidak, kebijakan pengembangan RTH yang seharusnya dapat diimplementasikan dengan baik malah dijadikan sebagai pengembangan investasi. Salah satu kasus yang terjadi adalah adanya rencana pembangunan apartemen dan restoran di babakan siliwangi yang merupakan salah satu RTH di kota bandung. Melakukan pembangunan di RTH berarti mengalihkan fungsi babakan siliwangi yang tadinya merupakan ruang publik menjadi ruang privat yang hanya bisa diakses oleh beberapa orang saja. Kontroversi pembangunan babakan siliwangi terjadi sejak tahun 2003 dan sekarang wacana pembangunan di babakan siliwangi kembali mencuat.
Pada tahun 2003, rencana pembangunan di RTH Babakan Siliwangi mulai terdengar. Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung menilai kawasan Babakan Siliwangi yang selama ini masih memiliki banyak ruang terbuka dapat dimanfaatkan untuk pengembangan usaha masyarakat. Sehingga mereka memutuskan untuk bekerja sama dengan pihak swasta untuk mengelola kawasan itu. Dalam rencana itu, 20 persen dari luas lahan akan dibangun menjadi apartemen untuk para mahasiswa, mal, hotel, butik, pusat seni dan amfiteater, rumah makan, serta pusat studi dan budaya Sunda. Sementara itu, sisa luas lahan di kawasan itu tetap dikuasai Pemkot Bandung, tetapi investor mempunyai hak untuk mengelolanya. Pemkot Bandung tidak berpikir panjang dalam memutuskan rencana tersebut. Dengan adanya rencana tersebut mungkin memang akan menambah investasi untuk Kota Bandung. Akan tetapi, di sisi lain, adanya rencana pembangunan tersebut justru hanya akan membawa dampak-dampak negatif pada lingkungan sekitarnya. Dampak tersebut diantaranya fungsi resapan air berkurang, merusak lingkungan, menimbulkan masalah lalu lintas, mengurangi RTH di Kota bandung, dan masih banyak dampak lainnya. Pemkot Bandung malah beralasan bahwa sebenarnya fungsi resapan air di kawasan itu sudah merosot tajam karena berkembangnya permukiman di sekitar daerah itu. Jadi, mereka justru mengharapkan peran investor untuk mengembalikan fungsi resapan air di kawasan itu dengan teknologi tinggi. Beberapa saat setelah Pemkot Bandung mengemukakan rencana itu, reaksi keras pun muncul dari berbagai kalangan. Umumnya mereka menyayangkan rencana itu, apalagi jika melihat kondisi RTH di Kota Bandung kian berkurang saja dari waktu ke waktu. Seiring dengan banyaknya reaksi yang menolak rencana pembangunan tersebut, akhirnya rencana itu pun kandas karena tekanan publik.
Di tahun 2008 yang lalu rencana Pemerintah Kota Bandung untuk melakukan pembangunan di RTH Babakan Siliwangi kembali terdengar. Bahkan, rencana tersebut semakin diperjelas dengan adanya Pemerintah Kota Bandung dan PT Esa Gemilang Indah yang ternyata tetap melanjutkan proses analisis mengenai dampak lingkungan atau amdal bagi kawasan komersial baru itu yang kini memasuki tahap konsultasi publik. Dengan kembali mengemukanya rencana tersebut, public pun kembali bereaksi menolak rencana tersebut. Publik sangat concern dengan hutan kota Babakan Siliwangi karena keberadaan hutan kota di Bandung masih jauh dari yang diperlukan oleh sekitar 2,7 juta warga kota. Apabila dihitung dari luas ruang terbuka hijau (RTH) Kota Bandung, angkanya kurang dari 10 persen dari luas kota. Angka tersebut jauh dari kebutuhan RTH yang layak bagi kota sekelas Bandung, yaitu 20-30 persen dari luas kota.
Kekhawatiran publik terhadap rencana pembangunan usaha komersial di Babakan Siliwangi, selain berpotensi mengganggu hutan kota serta menggusur kreativitas dan kearifan lokal, juga berpotensi menimbulkan kecemburuan sosial bagi usaha ekonomi kecil (PKL) yang selama ini kurang mendapatkan kepastian usaha. Selain itu, timbul kekhawatiran publik bahwa pemberian izin usaha komersial ini akan menjadi pintu masuk bagi pengembangan bangunan di Babakan Siliwangi. Kekhawatiran ini tidak berlebihan karena persoalan lingkungan hidup di Kota Bandung selama ini sering terjadi karena tidak konsistennya rencana dan pelaksanaan pembangunan.
Jalan terbaik untuk mengakhiri konflik ini adalah kepentingan publik harus dikedepankan dalam pemanfaatan lahan Babakan Siliwangi. Kepentingan public seharusnya menjadi pertimbangan utama Pemkot Bandung, kerena bagaimanapun juga, pembangunan yang mereka lakukan semata-mata untuk public. Apabila pembangunan yang dilakukan tidak bermanfaat untuk publik, itu berarti pembangunan tersebut tidak tepat sasaran.
Kebijakan ruang terbuka hijau (RTH) ini seharusnya dapat diimplementasikan dengan baik dan seharusnya Pemkot konsisten dengan keputusannya untuk tetap mempertahankan RTH yang masih ada di Kota Bandung, sebagaimana tercantum dalam dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang mengamanatkan bahwa wilayah kota harus memenuhi penyediaan RTH sebesar 30% dari luas kota, dimana 20%-nya merupakan RTH publik dan 10%-nya adalah RTH privat, RTRW Kota Bandung 2005-2013 menetapkan fungsi Kawasan Babakan Siliwangi sebagai RTH yang merupakan bagian dari kawasan lindung Kota Bandung, Keppres No. 32 Tahun 1990 menetapkan bahwa kawasan lindung hanya boleh dibangun prasarana dengan kapasitas 2% dari luas lahan, dan Perda Kota Bandung Nomor 2 Tahun 2004 jo. PP 13 Tahun 2006 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) mengamanatkan, kawasan Babakan Siliwangi sebagai kawasan ruang terbuka hijau (RTH) perlu dipertahankan. Kebijakan penataan, yaitu keserasian lingkungan dengan bangunan dan lingkungan sekitar, tetap mempertahankan fungsi lindung setempat, dan manambah luasan RTH Kota.
Dari sederet ketentuan perundangan diatas, seharusnya Pemkot Bandung tetap mempertahankan RTH yang masih ada. Sebuah kebijakan yang telah dirumuskan seharusnya dapat diimplementasikan sesuai dengan rencana. Terlebih lagi, sebuah kebijakan yang menyangkut public seharusnya menjadi sebuah kebijakan yang terbaik. Dalam implementasi kebijakan publik, ada empat hal yang harus diperhatikan yaitu apakah kebijakannya sendiri sudah tepat, apakah tepat pelaksanaannya, apakah target yang dituju tepat, dan apakah sudah tepat lingkungan.
Apabila kebijakan untuk mempertahankan ruang terbuka hijau (RTH) tersebut benar-benar diimplementasikan, maka Saya yakin hal tersebut akan menjadi sebuah kebijakan yang tepat. Tepat disini berarti kebijakan tersebut memang diimplementasikan sesuai dengan rencana yang sudah dirumuskan sebelumnya dan tepat pelaksanaannya. Dengan dilaksanakannya kebijakan tersebut, tujuan dari kebijakan ini agar menghijaukan kembali Kota Bandung akan tepat sasaran. Jika RTH dipertahankan, daerah hijau akan tetap ada dan itu akan sangat bermanfaat bagi Kota Bandung. Manfaat tersebut diantaranya adalah daerah resapan air masih terjaga, RTH yang merupakan ruang public akan tetap ada, dan masih banyak lagi manfaat lainnya.
Jika memang kebijakan mempertahankan RTH di Kota Bandung ini diimplementasikan dengan tepat, maka kebijakan ini termasuk kebijakan public model rasional. Kebijakan model rasional ini mengedepankan gagasan bahwa kebijakan public sebagai maximum social gain, yang berarti pemerintah sebagai pembuat kebijakan harus memilih kebijakan yang memberikan manfaat optimum bagi masyarakat. Akan tetapi, jika kebijakan mempertahankan RTH di Kota Bandung ini hanya sebuah wacana dan dalam implementasinya banyak terjadi penyimpangan yang hanya menguntungkan beberapa pihak saja, maka kebijakan ini termasuk kebijakan public model pilihan publik. Model kebijakan ini melihat kebijakan sebagai sebuah proses formulasi keputusan kolektif dari individu-individu yang berkepentingan atas keputusan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa apabila kebijakan RTH ini tidak diimplementasikan dengan seharusnya dan malah direncanakan untuk melakukan pembangunan di RTH tersebut, maka kebijakan ini tidak lebih hanya sebuah kebijakan yang ditujukan demi kepentingan-kepentingan tertentu tanpa mempertimbangkan kepentingan publik.
Kebijakan publik merupakan keputusan-keputusan yang mengikat bagi orang banyak pada tataran strategis atau bersifat garis besar yang dibuat oleh pemegang otoritas publik. Sebagai keputusan yang mengikat publik, maka kebijakan publik haruslah dibuat oleh otoritas publik, yakni mereka yang menerima mandat dari publik, atau orang banyak umumnya melalui proses pemilihan untuk bertindak atas nama rakyat banyak. Sebagaimana tercermin dari pernyataan tersebut, seharusnya Pemerintah Kota Bandung benar-benar mengimplemantasikan kebijakan publik demi kepentingan publik pula. Semoga Ruang Terbuka Hijau di Kota Bandung tetap dipertahankan demi terciptanya Bandung yang hijau kembali.